Cari Blog Ini

Rabu, 22 Juni 2011

Cinta Kebenaran Suburkan Hati (Bag. 1)

Seluas apapun tanah di bumi, semua tanah kembali pada salah satu dari tiga jenis.

Ada tanah yang subur, mampu menjadi tempat hidup tumbuhan apapun. Ada tanah yang kering mati, tidak mampu menjadi tempat tumbuh apapun. Ada tanah yang bercampur, sebetulnya ia adalah tanah yang subur, namun beberapa bagian darinya tidak subur atau mengandung unsur yang membahayakan tumbuhan.

Begitu juga keadaan hati manusia. Hati jutaan manusia sejak dulu terbagi menjadi tiga : hati yang hidup dan sehat, hati yang mati, dan hati yang sakit.

Ingat Tiga Hati

Hati yang hidup, sehat dan bersih adalah hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah Subhanahu Wa Ta‘ala, bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan wahyu dari-Nya. Hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta‘ala, selamat dari berhukum kepada selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta‘ala, bersih dalam mencintai Allah Subhanahu Wa Ta‘ala dan mengikuti Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, bersih dalam mengutamakan mencari ridho Allah Subhanahu Wa Ta‘ala dan menjauhi kemungkaran.

Hati yang tidak mengetahui Tuhannya, tidak menyembah-Nya sesuai dengan perintah yang di ridhoi-Nya merupakan hati yang mati. Selain itu, hati ini juga selalu menuruti keinginan nafsu dan kelezatan dirinya. Hati ini menghamba kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta‘ala dalam cinta, takut, harap, ridho dan benci, pengagungan dan kehinaan.

Macam hati yang ketiga adalah hati yang sakit; hati ini hidup tapi cacat. Ada dua pengaruh yang saling tarik-menarik didalamnya. Kadang ia memenangkan kehidupannya; berada pada sisi kecintaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta‘ala, penghambaan kepada-Nya, dan keikhlasan pada-Nya. Namun, didalam hati itu juga terdapat cinta kepada nafsu, hasad, takabur, cinta berkuasa dan berbuat kerusakan.

Cinta Kebenaran Suburkan Hati (Bag. 2)

Kehidupan Dan Cahaya

Orang yang mengetahui hakikat alam semesta dan tempat kembalinya menginginkan hatinya berada dalam keadaan hidup. Bahkan lebih dari itu, mereka menginginkan kehidupan hati yang sempurna dan bercahaya. Mereka tahu, hidup dan cahaya adalah modal segala kebaikan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta‘ala,
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am: 122)

Dalam ayat ini, Allah menghimpun dua dasar yang asasi : kehidupan dan cahaya. Hidup akan melahirkan kekuatan; kekuatan pendengaran, penglihatan, malu, kesabaran dan segenap akhlak mulia lainnya. Ia juga akan melahirkan cinta pada kebaikan dan benci keburukan. Semakin kuat kehidupan hati seseorang, semakin kuat pula sifat-sifat diatas. Sebaliknya, jika hidupnya lemah, maka lemah pula sifat-sifat itu pada dirinya.

Cahaya dan sinar merupakan pembuka pengetahuan dan hakikat ilmu, seakan-akan sinar pelita ditengah jalan yang gelap. Jika cahaya dan sinar hati kuat, maka terbukalah pengetahuan yang bermanfaat dan hakikatnya. Dengan cahaya hati itu, tampaklah kebaikan sebagai kebaikan, dan keburukan sebagai keburukan.

Allah juga mengabarkan bahwa Al-Qur’an mengandung dua hal : ruh yang dengannya hati menjadi hidup dan cahaya yang dengannya didapatkan penerangan dan pancaran (Asy-Syura: 52).

Cinta Kebenaran Suburkan Hati (Bag. 3)

Kebenaran Untuk Kehidupan Hati

Kehidupan hati yang sempurna hanya diraih dengan mengetahui, menginginkan dan mengutamakan kebenaran daripada hal-hal lain.

Keadaan ini bisa dicapai dengan dua hal; pertama, kekuatan ilmu dan pembeda; kedua, kekuatan keinginan dan cinta. Jadi, kesempurnaan hati terletak pada kekuatan ilmu dalam mengetahui dan memahami kebenaran, serta dalam membedakan antara kebenaran tersebut dengan kebatilan. Juga diraih dengan menggunakan kekuatan, keinginan dan cinta dalam mencari dan mencintai kebenaran serta dalam mengutamakan kebenaran dan kebatilan.

Orang yang tidak tahu kebenaran akan tersesat. Orang yang tahu kebenaran namun tidak menginginkannya atau mengutamakan selainnya, ia mendapatkan kemurkaan. Hanya orang yang tahu kebenaran lalu yang mengikutinyalah yang mendapat kenikmatan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam do’a kita sehari-hari dalam surat Al-Fatihah.

Allah Subhanahu Wa Ta‘ala menyebutkan dua hal pokok ini dalam banyak ayat, diantaranya :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al-Baqoroh: 186)

Permohonan orang yang berdo’a, pengabulannya dan seruan untuk memenuhi perintah Allah berhubungan dengan kekuatan, keinginan dan cinta. Seruan untuk beriman kepada Allah berhubungan dengan kekuatan ilmu dan pembeda.

Dalam Al-Qur’an, Allah selalu mengulang-ulang kabar bahwa orang yang bahagia adalah orang yang mengetahui kebenaran lalu mengikutinya, dan orang yang tidak tahu kebenaran serta tersesat darinya, atau ia mengetahui kebenaran tapi menyelisihinya.

Dua kekuatan hati ini tidak akan pernah berhenti dalam hati. Jika seorang hamba tidak menggunakan kekuatan ilmiahnya untuk mengetahui dan memahami kebenaran, maka ia akan menggunakannya untuk mengetahui kebatilan. Jika ia tidak menggunakan keinginan beramal untuk mengamalkan keta’atan, maka ia akan menggunakan kekuatan itu untuk kemaksiatan.

Tak ada yang lebih penting bagi seorang hamba selain berkonsentrasi dengan kebenaran. Dua kekuatan hati itulah yang merupakan senjatanya untuk meraih modal segala kebaikan. Dengan mengilmui dan mengamalkan kebenaran, hatinya akan berisi kehidupan dan bercahaya, InsyaAllah...
(abu ibnihi)

Sumber :
Melumpuhkan Senjata Syetan, Ibnu Qayyim, Darul Falah.

Wallahu'alam Bishshowab

Saudah binti Zam’ah R.A (Bag. 1)

Saudah binti Zam’ah R.A

Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa istri-istri Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam rata-rata janda. Salah satu diantaranya adalah Saudah binti Zam’ah. Mengapa Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menikahi beliau? Dan mengapa pula Saudah tetap bersikeras menjadi istri Nabi walau tidak mendapat kunjungan?

Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abud Al-Qurssyiyah Al-Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin Amru dari Bani Najjar. Beliau juga seorang sayyidah yang mulia dan terhormat. Sebelumnya menikah dengan As-Sakar bin Amru saudara Suhail bin Amru Al-Amiri. Suatu ketika beliau bersama 8 orang dari Bani Amir hijrah meninggalkan kampung halaman dan hartanya, kemudian menyebrangi dahsyatnya lautan demi agamanya.

Semakin bertambah siksaan dan intimidasi yang mereka alami karena menolak kesesatan dan kesyirikan. Hampir-hampir tiada henti ujian menimpa Saudah, belum usai ujian tinggal di negeri asing beliau harus kehilangan suami beliau sang muhajirin.

Saudah binti Zam’ah R.A (Bag. 2)

Di Lamar Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam

Dalam catatan sejarah, tak seorangpun sahabat yang berani mengajukan kepada Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tentang pernikahan beliau setelah wafatnya Ummul Mu’minin Khadijah.

Dan disaat kesusahan beliau hampir berkepanjangan, Khaulah binti Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rosulullah dengan cara yang lembut dan ramah :
Khaulah : Tidakkah Anda ingin menikah wahai Rosulullah?
Rosulullah : (Beliau menjawab dengan suara yang menandakan kesedihan) Dengan siapa saya akan menikah setelah dengan Khadijah?
Khaulah : Jika anda ingin bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang janda.
Rosulullah : Jika dengan seorang gadis, siapakah gadis tersebut?
Khaulah : Putri dan orang yang paling anda cintai yaitu Aisyah binti Abu Bakar.
Rosulullah : (Beliau diam beberapa saat, lalu bertanya) Jika dengan seorang janda?
Khaulah : Dia adalah Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang telah beriman kepada anda dan mengikuti apa yang anda bawa.

Beliau menginginkan Aisyah, namun terlebih dahulu beliau menikahi Saudah binti Zam’ah. Orang-orang Mekah merasa heran terhadap pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zam’ah. Mereka bertanya-tanya seolah-olah tak percaya dengan kejadian tersebut, seorang janda yang telah lanjut usia dan tidak begitu rupawan menggantikan posisi Sayyidah Quraisy. Hal itu tentu saja menarik perhatian bagi para pembesar diantara mereka.

Kenyataan membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau yang lain tak dapat menggantikan posisi Khadijah, namun Saudah mampu menunaikan kewajiban dalam rumah tangga Nubuwwah, dan melayani putri-putri Nabi.

Saudah binti Zam’ah R.A (Bag. 3)

Demi Meraih Keistimewaan

Setelah 3 tahun rumah tangga tersebut berjalan, masuklah Aisyah dalam rumah tangga Nabi, disusul kemudian istri-istri yang lain seperti Hafsah, Zainab, Ummu Salamah, dan lain-lain. Saudah menyadari bahwa Nabi tidak menikahinya selain karena kasihan melihat kondisinya yang lama menjanda. Dan bagi hal itu telah jelas dan nyata tatkala Nabi ingin menceraikannya dengan cara yang baik untuk memberi kebebasan kepadanya, walaupun Nabi merasa bahwa hal itu akan menyakiti hatinya.

Tatkala Nabi mengutarakan keinginannya itu, Saudah merasa seolah-olah itu adalah mimpi buruk yang menyesakkan dada. Sehingga beliau merengek dengan merendahkan diri seraya memohon,
“Pertahankanlah aku wahai Rosulullah, demi Allah, tiadalah keinginanku, namun aku berharap agar Allah membangkitkanku pada hari Kiamat dalam keadaan menjadi istrimu”.

Begitulah, Saudah lebih mendahulukan keridhoan semuanya yang mulia, sehingga beliau berikan gilirannya kepada Aisyah untuk menjaga hati Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan beliau sudah tak punya keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.

Rosulullah pun menerima usulan istrinya yang berperasaan halus itu, hingga turunlah ayat Allah,
“Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”. (QS. An-Nisa: 128)
Saudah bersyukur kepada Allah karena menjadi ummul mu’minin dan istri Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam di surga. Saudah wafat pada akhir pemerintahan Umar bin Khattab Rodhiyallahu ‘Anhu.

Ummul Mu’minin Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha senantiasa mengenang dan mengingat perilaku beliau dan terkesan akan keindahan kesetiaannya. Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha berkata,
“Tiada seorang wanita pun yang paling aku sukai agar aku punya sifat seperti dia melebihi Saudah binti Zam’ah yang saat berusia senja dia berkata, ‘Wahai Rosulullah, aku hadiahkan kunjungan anda kepadaku untuk Aisyah’. Hanya saja beliau berwatak keras”.

Demikianlah, Saudah merupakan teladan bagi para wanita yang rela berkorban demi mendapat kemuliaan di akhirat.
(abu shafy)

Sumber :
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Musthafa Abu An-Nashr Asy Syalabi. Wanita-Wanita teladan Di Masa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Cetakan III, Pustaka At-Tibyan, Solo, 2003.

Wallahu'alam Bishshowab

Sabtu, 18 Juni 2011

Mewujudkan Khusyu’ Dalam Sholat (Bag. 1)

Khusyu’ tentu merupakan sesuatu yang dicari-cari oleh orang yang mendirikan sholat yang ingin mendapatkan keridhoan-Nya.

Khusyu’ adalah ketentraman, ketenangan, perasaan takut, kesejahteraan dan juga tawadhu’. Lebih singkatnya, khusyu’ adalah merasa takut terhadap Allah Subhanahu Wa Ta‘ala dan selalu memperhatikan segala apa yang diperintahkan-Nya. Ada juga yang mengatakan khusyu’ adalah berdirinya hati dihadapan Robb dengan penuh ketundukan dan perasaan hina dina.

Tempat khusyu’ adalah didalam hati. Namun, khusyu’ juga memberikan dampak terhadap jasmani. Sebab, anggota tubuh akan mengikuti hati. Jika hati khusyu’ anggota badanpun akan tenang dan tentram. Jika khusyu’ rusak, rusak pulalah ibadah yang dilakukan oleh anggota badan seseorang.

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa khusyu’ adalah sesuatu yang diwajibkan. Allah berfirman, yang artinya :
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. (QS. Al-Baqoroh: 45)

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ayat diatas menunjukan ancaman terhadap orang-orang yang tidak khusyu’. Dan ancaman itu tidak akan terjadi, kecuali terhadap orang-orang yang meninggalkan sebuah kewajiban atau mengerjakan sesuatu yang haram. Dengan demikian, jika orang-orang yang tidak khusyu’ itu diancam, artinya khusyu’ adalah wajib hukumnya.

Oleh karena itu, mengusahakan sebab-sebab khusyu’ merupakan sebuah keharusan. Secara garis besar, sebab-sebab yang menjadikan seseorang khusyu’ terbagi dalam dua hal yaitu,
Pertama, mendatangkan segala sesuatu yang dapat mewujudkan kekhusyu’an didalam sholat, kemudian memperkuatnya.
Kedua, membendung segala sesuatu yang dapat menghapus dan menghilangkan kekhusyu’an tersebut.

Berikut ini sebab-sebab khusyu’ kategori pertama yang terpenting :

Mewujudkan Khusyu’ Dalam Sholat (Bag. 2)

Mempersiapkan Diri Untuk Sholat

Persiapan untuk sholat ini dilakukan sejak mu’adzin mengumandangkan adzan, yaitu dengan menjawab kalimat-kalimat adzan. Setelah itu berdo’a dengan do’a setelah adzan yang diriwayatkan dari Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Adalah baik untuk berwudhu dari rumah daripada berwudhu di Masjid. Maka wudhulah dengan tata cara yang disyari’atkan Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan bacalah do’a setelah wudhu. Termasuk dalam membersihkan diri adalah bersiwak serta mengharumkan mulut dimana nanti lisan merupakan jalan dilantunkannya Al-Qur’an.

Mengenakan pakaian yang baik merupakan hal yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya surat Al-A’rof ayat 31. Juga jangan pula memancing ketidak khusyu’an jama’ah lain dengan mengenakan pakaian yang bergambar apapun pada bagian belakang pakaian.

Setelah itu, berjalanlah menuju Masjid dengan penuh ketenangan, ketundukan, penuh khidmat seraya berdzikir dengan dzikir saat berjalan ke Masjid yang diriwayatkan Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Ketika masih ada waktu, hendaklah sholat sunat 2 roka’at (Tahhiyatul Masjid) sebelum duduk di Masjid. Kalaupun ada waktu lagi, berdo’alah sebelum iqomat dikumandangkan karena waktu diantara adzan dan iqomat merupakan salah satu waktu diijabah dalam berdo’a.

Saat iqomat berkumandang, maka tak ada lagi ibadah yang terpenting kecuali menegakkan sholat. Maka luruskanlah shof karena hal itu merupakan unsur kesempurnaan sholat serta jalan untuk mencegah masuknya syaiton pengganggu sholat.

Mewujudkan Khusyu’ Dalam Sholat (Bag. 3)

Bersikap Tenang

Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam selalu thuma’ninah (bersikap tenang) dalam melakukan sholat hingga setiap tulang belulangnya kembali ketempat semula. Orang yang tidak menyempurnakan bagian-bagian sholatnya, seperti rukuk dan sujud, dijuluki sebagai orang yang mencuri sebagian sholatnya.

Rosulullah juga mengomentari orang yang tidak sempurna sikap tenangnya dalam melakukan gerakan-gerakan sholat ini yaitu,
“Perumpamaan orang yang tidak sempurna rukuknya dan mematuk dalam sujudnya adalah seperti seorang yang sedang kelaparan yang makan sebuah kurma dua buah kurma, dimana keduanya tidak ada manfaatnya sama sekali terhadapnya”. Riwayat Ath-Thabrani, hasan)

Orang yang tidak thuma’ninah (bersikap tenang) ketika sholat tidak mungkin melakukan sholatnya dengan khusyu’. Sebab melakukan sholatnya dengan cepat-cepat dapat menghilangkan kekhusyu’an. Sedangkan melakukan sholat seperti seekor burung yang mematuk akan dapat menghilangkan pahala daripada sholat itu sendiri.

Mewujudkan Khusyu’ Dalam Sholat (Bag. 4)

Mengingat Mati Dalam Sholat

Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam pernah mengisyaratkan tentang masalah ini,
“Ingatlah kematian dalam sholatmu. Karena sesungguhnya seseorang jika mengingat kematian didalam sholatnya, niscaya dia akan bermaksud untuk memperbaiki sholatnya. Dan lakukanlah sholat sebagaimana sholat seseorang yang tidak pernah mengira bahwa dia akan dapat melakukan sholat selain sholat yang dilakukannya itu”. (Dinukil di As-Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, no. 1421, Al-Hafidz Ibn Hijr menyatakan hadits ini sebagai hadits hasan).

Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memberikan nasehat terhadap Abu Ayyub Rohimahullah,
“Jika engkau telah berdiri didalam sholatmu, maka lakukanlah sholat sebagaimana sholat seseorang yang akan meninggalkan”. (Riwayat Ahmad)

Maksud hadits diatas adalah melakukan sholat sebagaimana orang yang sholat sedangkan dia mengira bahwa dia tidak pernah akan dapat melakukannya kembali selain sholat yang sedang dilakukannya itu. Jika seseorang yang sholat itu berperasaan bahwa dia akan mati, sedangkan kematian itu pasti datang, dia juga berperasaan bahwa sholatnya itu sholat yang paling akhir dilakukan, maka dia akan melakukannya dengan khusyu’, sebab dia tidak mengetahui mungkin sholat itulah memang benar-benar sholat yang paling akhir dia lakukan.

Tiga hal diatas merupakan hal awal yang merupakan sebab bagi terwujudnya kekhusyu’an sholat. Tentu, tidak terbatas sekedar hal-hal diatas saja, masih ada dan banyak lagi sebab-sebab bagi terwujudnya kekhusyu’an sholat, baik termasuk kategori pertama maupun yang kedua.
(abu ukasyah)

Wallahu'alam Bishshowab